Dalam perjalanan menuju tempat kerja aku dengerin I Radio.Selingan Iklan Emha Ainun Najib, Bahasannya adalah tentang kesulitan, apakah merupakan sebuah teguran atau sebuah ujian untuk naik kelas. Cak Nun bilang bahwa kalau kita mendapatkan kesulitan, anggaplah itu sebagai teguran dari Allah agar kita introspeksi diri dan berusaha menjadi lebih baik. Tapi kalau kesulitan itu terjadi pada orang lain, betapa pun buruk sifat orang itu, anggaplah itu sebuah ujian bagi dia; kesempatan dari Tuhan untuk dia naik kelas ke jenjang kebajikan yg lebih tinggi. Dengan bersikap begini, kita senantiasa teringat untuk menjadi lebih baik, dan juga terhindar dari perasaan benci pada orang lain.
Reaksi spontan dari ku, ku acungkan jempol sama Cak Nun! Ini bener2 sesuai dengan pandanganku bahwa: the way you see the problem is the problem, esse est percipi (to be is to be perceived). Semua stimulus itu sifatnya netral, kita yang memberi arti pada stimulus itu; teguran, ujian, karma, siksa, berkah. Kenyataan itu adanya di kepala kita, bukan di mata kita.
Reaksiku setelah kegirangan sesaat hilang: duh, betapa kalimat itu menamparku! Betapa sering aku diam2 dan/atau tanpa aku sadari mensyukuri kesulitan yang dialami orang lain yang pernah berlaku kurang baik terhadapku. Betapa aku kadang2 masih punya kepongahan dan menggunakan kalimat suci sebagai justifikasi: doa orang yang teraniaya memang didengar Tuhan.
Padahal, apa sih hakku menganggap diri ini sebagai orang yg teraniaya?
Salah satu kejadian yg aku ingat adalah ketika aku benar benar menganggap seseorang itu adalah orang yang bisa aku percaya, bisa sangat mengerti betapa keluarga itu sangat penting bagi kita.Sebagai perempuan aku merasa bahwa dia adalah seorang ibu. Namun rasa kepercayaanku pupus sudah oleh kejadian yang sungguh membuat aku terpuruk. Dia justru tidak berpihak ke aku sama sekali kepadaku secara dia tahu sesungguhnya yang terjadi.
Pada saat aku mendengar kabar kalau dia masuk ICU karena serangan jantung mendadak saat dia sedang mengengendarai mobilnya di jalan Tol tidak lama setelah kejadian.
Rasa puas segenap menyelinap, Allah maha adil batinku saat itu.
Well, aku kasihan padanya. I really am. Tapi, walaupun aku berhasil menahan kemunculannya secara nyata, aku harus mengakui bahwa I smugly smiled dan merasa Tuhan sudah memberikan ganjaran pada beliau. Padahal, apa hakku untuk berpikir seperti itu? Just because he did me wrong, it does not mean that I am better than him, or he is worse than me.
Semestinya masih banyak contoh nyata yang selalu kita hadapi dalam mewarnai haru birunya perjalanan hidup kita. tapi tidak bisa aku ceritakan satu persatu.
Tapi mungkin pengalaman2 seperti ini yang menjadi bagian dari proses perkembangan kita ya? Seperti kata Jeffrey Lang dalam bukunya Struggling to Surrender virtue itu harus dicapai manusia melalui evolusi moral-spiritualnya, dengan menggunakan kemampuan untuk memilih, kemampuan untuk menimbang konsekuensi pilihan kita, serta kesulitan yang akan menggoda kita memilih hal yang kurang tepat. Free will, intellect, and adversity.
Hmm, virtue memang tidak bisa di-install. Jika kita ibaratkan diri kita adalah computer, maka yg bisa di-install adalah program untuk spell-check; menghindari word processor dari kata2 yang salah. Tapi kita tidak akan pernah bisa membuat computer itu menjadi computer yang penuh kejujuran.
Moga2, sedikit demi sedikit, pengalaman2 seperti di atas akan mengantar kita pada suatu kebajikan. Mungkin saat ini kita baru sampai pada tahap spell-check; menghindari mengucapkan kata2 kasar secara nyata, sementara kejengkelan belum bisa kita hilangkan. Namun, dengan terus menerus belajar, suatu hari kita tidak perlu spell-check lagi, karena kebajikan itu menjadi bagian yg built-in dalam diri kita.
Selamat Menjalankan IbadahPuasa !
Bunda Qe,5 Ramadhan, menjelang berbuka
No comments:
Post a Comment