About Me

My photo
Kesederhanaan dalam hidup dan rasa syukur yang ada adalah keutamaan yang ingin diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Meraup keberkahan akan rezeki yang telah Alloh sebarkan sehingga bisa bersama-sama maju dalam membangun perekonomian insani yang syariah

SUGENG RAWUUUH..........

silahkan baca kalo suka,kalo ndak yo close aja, silahkan
komentar kalo sempet kalo ndak senyum aja,tidak ada
paksaan,tidak ada pujian ,karena pujianan hanya milikNya
semata...

melangkahlah apa adanya layaknya air yang mengalir tidak
usah dibikin susah karena hidup ini sudah susah, tegar dan
berjuanglah selebihnya pasrahkan sama sing duwe
urip,karena 4JJI maha tahu apa yang terbaik bagi kita...

5.7.13

Ketika Pendidikan Menjadi Dilema

Judulnya keren banget kan, kalau anak ABG bilang judul yang lagi galau, sebab apa? banyakorag tua yang bingung memikirkan sekolah yang terbaik untuk anaknya. Pada masa anak selesai sekolah TK, SD , SMP dan SMA, tidak sedikit kebimbangan yang ada, anaknya yang mau sekolah ealah ortunya yang bingung, ada pilihan yang bagus tapi terbentur masalah biaya. apakah sekolah yang bagus itu harus mahal? sekolah yang bagus itu harus sekolah swasta?bagus menurut versi siapa?apakah kemauan orag tua atau kemauan anak? lantas sekolah yang bagus itu seperti apa kriterianya? padahal yah jaman dulu saya mau sekolah tuh ga ada yang namanya orang tua pusing-pusing mikirin sekolah, yang penting bisa masuk sekolah negeri aja itu sudah bagus. Beda dengan zaman sekarang, dengan tidak mengurangi kehebatan sekolah negeri, zaman sekarang orang tua lebih cenderung untuk memilih sekolah terutama yang berbasis keagamaan. dengan alasan zaman sekarang sudah ribet apalagi orang tua semua bekerja masalah pendidikan diserahkan ke sekolah termasuk masalah keagamaan, orang tua tinggal memantau perkembangannya. Namun tetap al ummu madrasah ibu adlah guru bagi anak-anaknya, sudah selayaknyalah anak- anak kita kita ajari lebih dini sekolah hanya sebagai perantara bagi kita.
Kegalauan seperti di atas sudah saya alami ketika sang buah hatiku memasuki gerbang pendidikan dasar alias sd. beberapa sekolah sudah masuk dalam daftar kami. Seleksi dilakukan untuk mendapatkan yang terbaik meski harus rela membayar tinggi untuk menjadi konsumen pendidikan demi mendapatkan yang terbaik bagi buah hatinya. Namun kegelisahan itu selalu ada sampai detik ini  Gelisahnya adalah ketika harus pilih-pilih sekolah mana yang terbaik dan tepat untuk anakku (terbaik bukan berarti yang termahal, terlengkap dan bergengsi, melainkan yang tepat dengan kebutuhan anakku). Takutnya adalah jangan-jangan pilihan ini tidak tepat buat anak, memaksakan diri/keinginan orang tua, takut tidak mampu menjalaninya walaupun memilih sekolah yang baru ini hasil dari proses diskusi dengan ayah dan bunda serta sang anak sendiri disamping sebelumnya sudah mencari-cari informasi tentang sekolah barunya. Senangnya karena akan mendapat banyak pengalaman dan ilmu pengetahuan yang Insya Alloh bermanfaat untuk sang anak kelak dan menjadi sarana belajar untuk ayah dan bunda juga. Biar umurnya berlipat-lipat dari sang anak, bundanya masih harus terus belajar menjadi ibu yang baik begitupula ayahnya. salah satu alasan bagi kami adalah  Landasan agama (Islam) yang menjadi pilihan keimanan kami menjadikan modal yang paling utama. Bukan karena kami orang-orang yang sangat mengerti tentang agama, melainkan karena kami haus akan pengetahuan itu dan sedang bersama-sama terus menggali keimanan kami dalam Islam. Bekal agama untuk pegangan hidup menjadikan saya harus membekali ilmu agama yang lebih baik untuk anak-anak kami. Kelak doa-doa merekalah yang akan menjadi jembatan bagi kami ke surga, Insya Alloh ^__^

 
Berikut adalah sebuah tulisan yang sangat menginspirasi. (Dari sebuah sumber)

"Lima belas tahun lalu saya pernah mengajukan protes pada guru sebuah sekolah tempat anak saya belajar di Amerika Serikat. Masalahnya, karangan berbahasa Inggris yang ditulis anak saya seadanya itu telah diberi nilai E (excellence) yang artinya sempurna, hebat, bagus sekali. Padahal dia baru saja tiba di Amerika dan baru mulai belajar bahasa.

Karangan yang dia tulis sehari sebelumnya itu pernah ditunjukkan kepada saya dan saya mencemaskan kemampuan verbalnya yang terbatas. Menurut saya tulisan itu buruk, logikanya sangat sederhana. Saya memintanya memperbaiki kembali, sampai dia menyerah.

Rupanya karangan itulah yang diserahkan anak saya kepada gurunya dan bukan diberi nilai buruk, malah dipuji. Ada apa? Apa tidak salah memberi nilai? Bukankah pendidikan memerlukan kesungguhan? Kalau begini saja sudah diberinilai tinggi, saya khawatir anak saya cepat puas diri.

Sewaktu saya protes, ibu guru yang menerima saya hanya bertanya singkat.

“Maaf Bapak dari mana?”

“Dari Indonesia”, jawab saya.
Dia pun tersenyum.

BUDAYA MENGHUKUM
Pertemuan itu merupakan sebuah titik balik yang penting bagi hidup saya. Itulah saat yang mengubah cara saya dalam mendidik dan membangun masyarakat.

“Saya mengerti”, jawab ibu guru yang wajahnya mulai berkerut, namun tetap simpatik itu.

“Beberapa kali saya bertemu ayah-ibu dari Indonesia yang anak anaknya dididik di sini”, lanjutnya. 

“Di negeri Anda, guru sangat sulit memberi nilai. Filosofi kami mendidik di sini bukan untuk menghukum, melainkan untuk merangsang orang agar maju. Encouragement! ”, dia pun melanjutkan argumentasinya.

“Saya sudah 20 tahun mengajar. Setiap anak berbeda-beda. Namun untuk anak sebesar itu, baru tiba dari negara yang bahasa ibunya bukan bahasa Inggris, saya dapat menjamin, ini adalah karya yang hebat”, ujarnya menunjuk karangan berbahasa Inggris yang dibuat anak saya.
Dari diskusi itu saya mendapat pelajaran berharga. Kita tidak dapat mengukur prestasi orang lain menurut ukuran kita.

Saya teringat betapa mudahnya saya menyelesaikan study saya yang bergelimang nilai “A”, dari program master hingga doktor.

Sementara di Indonesia, saya harus menyelesaikan study jungkir balik ditengarai ancaman drop out dan para penguji yang siap menerkam. Saat ujian program doktor saya pun dapat melewatinya dengan mudah.

Pertanyaan mereka memang sangat serius dan membuat saya harus benar-benar siap. Namun suasana ujian dibuat sangat bersahabat. Seorang penguji bertanya dan penguji yang lain tidak ikut menekan, melainkan ikut membantu memberikan jalan begitu mereka tahu jawabannya. Mereka menunjukkan grafik-grafik yang saya buat dan menerangkan seterang-terangnya sehingga kami makin mengerti.

Ujian penuh puja-puji, menanyakan ihwal masa depan dan mendiskusikan kekurangan penuh keterbukaan.

Pada saat kembali ke Tanah Air, banyak hal sebaliknya sering saya saksikan. Para pengajar bukan saling menolong, malah ikut “menelan” mahasiswanya yang duduk di bangku ujian.

***

Etika seseorang penguji atau promotor membela atau meluruskan pertanyaan, penguji marah-marah, tersinggung, dan menyebarkan berita tidak sedap seakan-akan kebaikan itu ada udang di balik batunya. Saya sempat mengalami frustrasi yang luar biasa menyaksikan bagaimana para dosen menguji, yang maaf, menurut hemat saya sangat tidak manusiawi.

Mereka bukan melakukan encouragement, melainkan discouragement. Hasilnya pun bisa diduga, kelulusan rendah dan yang diluluskan pun kualitasnya tidak hebat-hebat betul. Orang yang tertekan ternyata belakangan saya temukan juga menguji dengan cara menekan. Ada semacam balas dendam dan kecurigaan.

Saya ingat betul bagaimana guru-guru di Amerika memajukan anak didiknya. Saya berpikir pantaslah anak-anak di sana mampu menjadi penulis karya-karya ilmiah yang hebat, bahkan penerima Hadiah Nobel. Bukan karena mereka punya guru yang pintar secara akademis, melainkan karakternya sangat kuat: karakter yang membangun, bukan merusak.

Kembali ke pengalaman anak saya di atas, ibu guru mengingatkan saya.

“Janganlah kita mengukur kualitas anak-anak kita dengan kemampuan kita yang sudah jauh di depan”, ujarnya dengan penuh kesungguhan.
Saya juga teringat dengan rapor anak-anak di Amerika yang ditulis dalam bentuk verbal.

Anak-anak Indonesia yang baru tiba umumnya mengalami kesulitan, namun rapornya tidak diberi nilai merah, melainkan diberi kalimat yang mendorongnya untuk bekerja lebih keras, seperti berikut,

“Sarah telah memulainya dengan berat, dia mencobanya dengan sungguh-sungguh. Namun Sarah telah menunjukkan kemajuan yang berarti.”
Malam itu saya mendatangi anak saya yang tengah tertidur dan mengecup keningnya. Saya ingin memeluknya di tengah-tengah rasa salah telah memberi penilaian yang tidak objektif.

Dia pernah protes saat menerima nilai E yang berarti excellent (sempurna), tetapi saya mengatakan “gurunya salah”. Kini saya melihatnya dengan kacamata yang berbeda.

MELAHIRKAN KEHEBATAN

 
Bisakah kita mencetak orang-orang hebat dengan cara menciptakan hambatan dan rasa takut? Bukan tidak mustahil kita adalah generasi yang dibentuk oleh sejuta ancaman: gesper, rotan pemukul, tangan bercincin batu akik, kapur, dan penghapus yang dilontarkan dengan keras oleh guru, sundutan rokok, dan seterusnya.

Kita dibesarkan dengan seribu satu kata-kata ancaman: Awas…; Kalau,…; Nanti,…; dan tentu saja tulisan berwarna merah menyala di atas kertas ujian dan rapor di sekolah.

Sekolah yang membuat kita tidak nyaman mungkin telah membuat kita menjadi lebih disiplin. Namun di lain pihak dia juga bisa mematikan inisiatif dan mengendurkan semangat. Temuan-temuan baru dalam ilmu otak ternyata menunjukkan otak manusia tidak statis, melainkan dapat mengerucut (mengecil) atau sebaliknya, dapat tumbuh.

Semua itu sangat tergantung dari ancaman atau dukungan (dorongan) yang didapat dari orang-orang di sekitarnya. Dengan demikian kecerdasan manusia dapat tumbuh, sebaliknya dapat menurun. Seperti yang sering saya katakan, ada orang pintar dan ada orang yang kurang pintar atau bodoh.

Tetapi juga ada orang yang tambah pintar dan ada orang yang tambah bodoh.

Mari kita renungkan dan mulailah mendorong kemajuan, bukan menaburkan ancaman atau ketakutan. Bantulah orang lain untuk maju, bukan dengan menghina atau memberi ancaman yang menakut-nakuti.


*Cerita ini diambil dari salah satu teman parlemen Remaja DPR-RI 2011: Eko Indrayadi dan blog penuh inspiratif skipsit.com 



MyNote :  


Sudahkah kita menjadi pengajar, guru, dan panutan yang baik untuk buah hati kita? buah hati  yang ALLAH amanahkan untuk kita? apakah kepandaian seorang anak hanya dinilai dari nilai-nilai harian dia di sekolah tanpa ada pengayaan lebih jauh seperti apa dia di sekolah bagaimana dia berusaha untuk memahami suatu ilmu yang baru baginya apalagi ilmu yang tidak diterapkan dalam kesehariannya ( English language). 

Seperti cerita di atas, apresiasi sang guru terhadap kemauan anak tentunya akan membuat anak merasa dihargai sehingga akan tumbuh suatu kepercayaan diri anak bahwa dia pasti mampu untuk berbuat lebih baik lagi. Meski Nilai bukanlah menjadi sebuah harga mati yang menentukan dia pandai atu tidak, buat apa misalkan nila PKN 100 tapi perilaku sehari- harinya tidak seperti yang diajarkan dalam pelajaran tersebut? buat apa nilai agama bagus namun akhak kesehariannya tidak bagus? nilai hanya merupakan sebuah imbas dari dia mengerti tidaknya akan sebuah ilmu yang didapat, hanya sebuah harga yang dibilang benar dan salah saja ( kalau boleh saya bilang seperti itu).
Ini berdasar atas apa yang saya alami dimana pada saat itu saya sedang ikut mengoreksi hasil belajar ujian akhir anak yang telah dibagikan oleh sekolah. saat itu Qe menulis jawaban four sementara pilihan yang ada adalah angka 4 , hasilnya disalahkan ( bagaimana menurut anda?). 
Mungkin masih banyak contoh kasus yang serupa. bukankah ini merupakan sebuah penyempitan pandangan akan arti sebuah pendidikan?  Terlebih sekolah sekarang dimana bahasa asing menjadi suatu unggulan, menjadi suatu muatan lokal yang menjadikan nilai lebih dibandingkan dengan sekolah-sekolah yang lainnya. Namun tidak ada upaya untuk memberi rangsangan kepada anak agar merasa dihargai akan usahanya untuk bisa berbuat lebih? ingat betul raut kekecewaan anakku sat itu.
Satu hal yang tak kalah penting adalah komunikasi antara sekolah dan orang tua adalah jembatan yang sangat penting dalam kegiatan belajar mengajar agar menjadi yang terbaik.

Allah Engkaulah Maha pembolak balik hati manusia, tetapkanlah senantiasa hati ini untuk selalu mendengar dan patuh terhadap kebenaranMu.
Mudahkan selalu disetiap urusanku termasuk urusanku dalam menjaga amanahMu agar kelak ia menjadi seorang pemimpin yang dirindukan karena kebaikannya karena sifat terpujinya dan menjadi investasi berharga untuk kami saat kami kelak sudah tidak merasai lagi nikmatnya kehidupan di dunia ini. Semoga doanya mampu mengantarkan kami dalam syurgaMu. Amiin..

IlmuMu jauh lebih tinggi dari ilmunya manusia, jadikanlah kami senantiasa haus untuk belajar menuntut ilmu, ilmu yang bermanfaat yang dapat membawa kami dalam kebaikan fiddini waddunya walakhirah..

Pemenang itu bukanlah dia yang selalu menjadi juara, bukanlah dia yang terkaya bukanlah dia sang pemimpin penguasa dunia namun hakekat pemenang sesungguhnya adalah manakala dia mampu mengantarkan dirinya menjadi yang terbaik saat dia menghadap sang khalik......
Laailaahaillallah Muhammadaurrasulullah....


BQ


sebuah link yang bagus untuk dapat kita baca sebagai bekal kita dalam mendidik sang buah hati kita,
 http://munifchatib.wordpress.com/2012/11/19/multiple-intelligences-menurut-prespektif-munif-chatib/multiple-intelligence/
 

Rumah Kepompong Daycare

Rumah Kepompong Daycare
Penitipan anak terpercaya di Pemalang