About Me

My photo
Kesederhanaan dalam hidup dan rasa syukur yang ada adalah keutamaan yang ingin diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Meraup keberkahan akan rezeki yang telah Alloh sebarkan sehingga bisa bersama-sama maju dalam membangun perekonomian insani yang syariah

SUGENG RAWUUUH..........

silahkan baca kalo suka,kalo ndak yo close aja, silahkan
komentar kalo sempet kalo ndak senyum aja,tidak ada
paksaan,tidak ada pujian ,karena pujianan hanya milikNya
semata...

melangkahlah apa adanya layaknya air yang mengalir tidak
usah dibikin susah karena hidup ini sudah susah, tegar dan
berjuanglah selebihnya pasrahkan sama sing duwe
urip,karena 4JJI maha tahu apa yang terbaik bagi kita...

12.1.18

Menghitung Hari





Inilah salah satu alasan kenapa aku seringkali mencoba untuk menulis sesuatu dan berharap ada yang dapat diambil hikmahnya yang dengan keterbatasanku sebai seorang wanita yang tak handal menulis berharap tulisan inilah yang nantinya bakal menjadi peninggalan yang abadi, dan itu insyaAllah akan menjadi amalan kita, jika tulisan kita bermanfaat untuk orang lain.
MasyaAllah,tak sengaja searching lalu nemu tulisan ini sewaktu buka-buka arsip di yahoo grup SMA.
tulisanku 10 tahun yang lalu menceritakan saat Qeis, anak pertamaku masih berusia 18 bulan.
Alhamdulillah bisa aku baca-baca kembali. yang jelas jadi terharu, tersenyum , ga nyangka alhamdulillah sekarang Qeis sudah beranjak ke 12 tahun.

yuk baca bareng-bareng


13 Juli 2007



  MENGHITUNG HARI

Senin, Selasa, Rabu, Kamis dan Jumat. Kuhitung hari itu ketika anakku Qeis 18 bulan,mulai bersikap manja setiap aku akan beranjak pergi kerja.

Ada saja yang dimintanya dari minta dibacain buku sampai minta dibikinin susu semua mintanya Bunda saja, dengan helaan napas sayang aku turuti semua permintaanya meski dalam hati sesekali melirik jam di tangan kananku dan bergumam,bakal kejebak macet nih..tapi bening matanya tak kuasa membuat aku untuk menolak, sekedar menemani membaca dan melafadzkan huruf hijaiyah bersama.

Bunda sayang Qeis,itu kata-kata yang selalu aku ucapkan sambil menatap dan memegang lengannya aku pandangi dengan penuh kasih sayang meyakinkan dia bahwa bunda akan kembali nanti sore dan bermain bersama lagi, sekarang bunda kerja dulu ya sayang.
'Ya bundta..' kucium dia sambil kuulurkan tanganku ntuk diciumnya.
ku lambaikan tangan dan dibalasnya, ddddaaah bundta.....(masih agak susah ucapin bunda..)
Dalam perjalanan menikmati macet dalam hati aku berkata kini aku benar -benar merasakan saat aku menjalani hidup dengan adanya si kecil di antara kehidupan rumah tanggaku.
Dan secara tak sengaja kembali ingat akan  cerita sahabatku 2 tahun yang lalu semoga cerita ini bisa diambil hikmahnya.
Sebagian wanita menganggap tugasnya lebih sebagai manajer di rumahnya tanpa perlu dipusingkan urusan dapur dan merawat anak yang lebih pantas dilakukan oleh para asisten, atau baby-sitter. Peran sosial dan aktualisasi diri menjadi lebih utama. 

Di sisi lain, tidak sedikit wanita yang tetap "teguh" dan bangga dengan kesibukan seputar urusan dapur. Mereka cukup puas dengan imbalan surga untuk jerih payahnya membenamkan muka di asap "sauna" Mazola (minyak goreng) dan berparfumkan aroma popok bayi.

Saya tidak hendak membahas kekurangan dan kelebihan kedua sisi ini. Karena jujur saya juga adalah sebagai ibu rumah tangga yang sekaligus juga bekerja. Seperti saya tulis di muka, sudah banyak para ulama dan ustadz bahkan para praktisis yang memberikan arahan. Saya hanya ingin bertutur tentang seorang sahabat saya . 
Sebut saja Riana namanya.
Semasa kuliah ia tergolong berotak cemerlang dan memiki idealisme yang tinggi. Sejak awal, sikap dan konsep dirinya sudah jelas : meraih yang terbaik, baik itu dalam bidang akademis maupun bidang profesi yang akan digelutinya. Sampai universitasnya mengirim dia untuk mempelajari hukum Internasional di Universitas Ultrecht, negrinya bunga tulip, beruntung Riana  terus melangkah. Sementara saya, lebih memilih menuntaskan pendidikan analis dan berpisah dengan seluk beluk hukum dan perundangan. Beruntung pula, Riana mendapat pendamping yang "setara" dengan dirinya, sama-sama berprestasi , meski berbeda profesi.

Alifya, buah cinta mereka lahir ketika Riana baru saja diangkat sebagai staf Diplomat bertepatan dengan tuntasnya suami Riana meraih PhD.b Konon nama putera mereka itu diambil dari huruf pertama hijaiyah "alif" dan huruf terakhir "ya", jadilah nama yang enak didengar : Alifya. Tentunya filosofi yang mendasari nama ini seindah namanya pula.
Ketika Alif, panggilan untuk putranya itu, berusia 6 bulan, kesibukan Riana semakin menggila saja. Frekuensi terbang dari satu kota ke kota yang lain makin meninggi. Saya pernah bertanya, "Tidaklah si Alif terlalu kecil untuk ditinggal?". Dengan sigap Riana menjawab: "Saya sudah mempersiapkan segala sesuatunya . Everythink is ok."
Dan itu betul-betul ia buktikan. Perawatan dan perhatian anaknya walaupun lebih banyak dilimpahkan ke baby sitter betul-betul mengagumkan.

Alif tumbuh menjadi anak yang lincah, cerdas dan pengertian. Kakek neneknya selalu memompakan kebanggan kepada cucu semata wayang itu tentang ibu-bapaknya. "Contohlah ayah bunda Alif kalau besar nanti". Begitu selalu nenek Alif , bertutur disela2 dongeng menjelang tidurnya. Tidak salah memang. Siapa yang tidak ingin memiliki anak atau cucu yang berhasil dalam bidang akademis dan pekerjaannya.
 
Ketika alif berumur 3 tahun, Riana bercerita kalau Alif minta adik. Waktu itu Ia dan suaminya menjelaskan dengan penuh kasih-sayang bahwa kesibukan mereka belum memungkinkan untuk menghadirkan seorang adik buat Alif. Lagi-lagi bocah kecil ini,  "dapat memahami" orang tuanya.
Mengagumkan memang. Alif bukan tipe anak yang suka merengek. Kalau kedua orang tuanya pulang larut, ia jarang sekali ngambek. Kisah Riana, Alif selalu menyambutnya dengan penuh kebahagiaan. Riana bahkan menyebutnya malaikat kecil. Sungguh keluarga yang bahagia, pikir saya. Meski kedua orangtua sibuk , Alif tetap tumbuh penuh cinta. Diam-diam hati kecil saya menginginkan anak seperti Alif ( walau sampai sekarang kesabaran menanti sang bocah sedang teruji..)
Suatu hari, menjelang Riana berangkat ke kantor, entah mengapa Alif menolak dimandikan baby-sitternya. "Alif ingin bunda mandikan". Ujarnya. Karuan saja Riana yang dari detik ke detik waktunya sangat diperhitungkan, menjadi gusar. Tak urung suaminya turut membujuk agar Alif mau mandi dengan tante Mien, baby sitternya. Peristiwa ini berulang sampai hampir sepekan, "Bunda, mandikan Alif" begitu setiap pagi. Riana dan suaminya berpikir, mungkin karena Alif sedang dalam masa peralihan ke masa sekolah jadinya agak minta perhatian.

Suatu sore, Riana dikejutkan telponnya Mien, sang baby sitter," Bu dokter, Alif demam dan kejang-kejang. Sekarang di Emergency." Setengah terbang, Riana pun ngebut ke UGD. But it was too late. Allah sudah punya rencana lain. Alif , si malaikat kecil keburu dipanggil pemiliknya.

Riana, bundanya tercinta, yang ketika diberi tahu sedang meresmikan kantor barunya, shock berat. Setibanya di rumah, satu-satunya keinginan dia adalah memandikan anaknya. Dan itu memang ia lakukan, meski setelah tubuh si kecil terbaring kaku. "Ini bunda, Lif. Bunda mandikan Alif. Ucapnya lirih, namun teramat pedih.

Ketika tanah merah telah mengubur jasad si kecil, kami masih berdiri mematung. Berkali-kali Riana, sahabatku yang tegar itu berkata,  "ini sudah takdir, iya kan? Aku di sebelahnya ataupun diseberang lautan, kalau sudah saatnya, dia pergi juga kan??". Saya diam saja mendengarkan. "Ini konsekuensi dari sebuah pilihan." Lanjutnya lagi.

 Hening sejenak..............

Angin senja berbaur aroma kamboja. Tiba-tiba Riana tertunduk. Serunya kemudian, " Bangunlah lif, bunda mau mandikan alif, beri kesempatan bunda sekali lagi saja, lif". Rintihan itu begitu menyayat. Detik berikutnya ... ia bersimpuh sambil mengais-ngais tanah.
saya menyaksikan Rani menangis, lebih-lebih tangisan
yang meledak''Bangunlah Lif, Bunda mau mandikan
Alif. Beri kesempatan Bunda sekali saja Lif. Sekali
saja, Aliiif..'' Rani merintih mengiba-iba. Detik
berikutnya, ia menubruk pusara dan tertelungkup di
atasnya. Air matanya membanjiri tanah merah yang
menaungi jasad Alif. Senja pun makin tua.

                                                            ***

Masih dengan menyeka air mata bila teringat sahabatku itu....
Sekali lagi, saya tidak ingin membahas perbedaan sudut pandang pembagian tugas suami isteri. Hanya saja, sekiranya si kecil kita juga bergelayut : "Mandikan Aku, Bunda." Akankah kita menolak ? Atau.... Menunggu sampai terlambat?  
Nasi sudah menjadi bubur, sesal tidak lagi menolong.
Hal yang nampaknya sepele sering kali menimbulkan sesal dan kehilangan yang amat sangat. Sering kali orang sibuk 'di luaran', asik dengan dunianya dan
ambisinya sendiri tidak mengabaikan orang2 di dekatnya yang
disayanginya. Akan masih ada waktu 'nanti' buat mereka jadi abaikan saja.
Sering kali orang takabur dan merasa yakin bahwa pengertian dan kasih  sayang yang diterimanya tidak akan hilang. Merasa mereka akan mengertikarena mereka menyayanginya dan tetap akan ada.


                                      ~~~~~~~~~

MasyaAllah nangis membacanya, apalagi dasarnya aku ini mata yuyu, dengar atau baca cerita yang menyentuh sedikit saja pasti ikutan trenyuh.

Apapun pilihan kita selalu akan ada konsekuensinya.
Bagaimanapun juga keluarga adalah yang pertama karena anak-anak kita adalah tanggung jawab kita. Dialah amanah yang kelak akan dimintai pertanggunganjawab olehNya. 
Mohon kepada Allah Agar kita selalu dikuatkan dan diistiqomahkan dijalanNya agar dapat mengemban amanahNya yang berupa anak-anak sebagai generasi penerus kita. Agar kelak mereka menjadi generasi Rabbani, generasi Qurani yang istiqomah di dalam jalan Allah SWT, aamiin yra...














Rumah Kepompong Daycare

Rumah Kepompong Daycare
Penitipan anak terpercaya di Pemalang