About Me

My photo
Kesederhanaan dalam hidup dan rasa syukur yang ada adalah keutamaan yang ingin diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Meraup keberkahan akan rezeki yang telah Alloh sebarkan sehingga bisa bersama-sama maju dalam membangun perekonomian insani yang syariah

SUGENG RAWUUUH..........

silahkan baca kalo suka,kalo ndak yo close aja, silahkan
komentar kalo sempet kalo ndak senyum aja,tidak ada
paksaan,tidak ada pujian ,karena pujianan hanya milikNya
semata...

melangkahlah apa adanya layaknya air yang mengalir tidak
usah dibikin susah karena hidup ini sudah susah, tegar dan
berjuanglah selebihnya pasrahkan sama sing duwe
urip,karena 4JJI maha tahu apa yang terbaik bagi kita...

29.4.10

beri aku syurga kecil

Allah, Beri Kami Surga Kecil


Allah, beri kami surga kecil Rumah syhadu berhias rahmah Di sana tergelar
helai-helai sajadah Tempat kami berpinta dan bermunajah
Allah beri kami surga kecil,
Istana mungil bertahta sakinah Tempat kami berteduh melepas lelah Ranjang kokoh
bertabur berkah Tempat malam-malam kami dipeluk mimpi indah
Allah, beri kami surga kecil
(sebuah sumber)

Doa yang bagiku tidaklah muluk tapi senantiasa kupanjatkan...

Ada yang enggan menikah. Bukan ada lagi, bahkan banyak. Salah satu
alasan yang paling sering hinggap di telinga adalah kemapanan. Belum punya rumah
tinggal. Belum berpenghasilan tetap. Bahkan salah seorang teman kampus
menyatakan ia akan menikah setelah mempunyai rumah dan kendaraan beroda empat.
Kalau rumah dan mobil belum termiliki, menurutnya kebahagiaan menikah tidak akan
ada. Kalau tidak bahagia, buat apa menikah!
Ada yang karen target usia,ada yang karen malu dibilang bujang lapuk atau perawan tua... dan masih banyak alasan alasan lainnya . ( hmmmm... dulu aku mau menikah karena apa ya? )
Tapi benarkah kebahagiaan menikah melulu terletak pada kemapanan dan
ketersediaan materi? Benarkah sakinah terengkuh kalau sudah punya hunian yang
nyaman, kendaraan berkelas dan penghasilan yang mencapai nominal tertentu. Bisa
jadi demikian tapi sepertinya saya harus menggelengkan kepala. Saya teringat
pada seseorang. sahabat karib saya.
Entah di mana ia sekarang. Yang jelas kehidupan ekonominya naik kelas. Lelaki
yang menikahinya orang kaya dan mempunyai pekerjaan di tempat yang kata orang
'basah'. Sewaktu dia menikah orang-orang menganggapnya beruntung karena
mendapatkan jodoh yang demikian yahud. Suatu ketika Allah memperkenankan kami
bertemu. Yupe, ia terlihat lain. Dandanan orang 'berpunya'. Kami mengobrol.
Iseng-iseng saya membuka majalah dan menunjukkan kepadanya iklan perumahan. Saya
bilang alangkah senangnya punya rumah megah seperti itu. Tapi jawabannya membuat
saya terdiam.
"Ah kata siapa punya rumah kaya gitu menyenangkan, siap-siap aza suaminya selalu
bergelut dengan pekerjaan, pulang larut pergi dini hari, yang di kepalanya cuma
bisnis, waktu baginya adalah uang, mau punya anak aza berhitung minta ampun,
kita memang berlimpah harta, tapi di sini sepi," urainya sambil menunjuk dada.
Nampak sekali ia gundah. Dan curhatlah ia. Tumpah ruah.
Saya memandangnya lekat. Sama sekali tidak menyangka bahwa menurutnya
kebahagiaanya terenggut sejak pertama ia menikahi seseorang yang dipilihkan
orang tuanya, beberapa tahun yang lalu. Ia berlimpah kekayaan tapi sungguh ia
tidak bahagia.

***
Ini kisah lain. Suaminya sekarang mapan. Sofa mahal itu bukan lagi masalah dan
ruang tamunya terlihat lain. Lebih indah dan nyaman. Rumahnya baru direnovasi.
Lantai keramik, kitchen set lengkap, kamar mandi ber-shower, belum lagi
alat-alat rumah tangga serba elektronik yang ikut diganti menjadi baru dan lebih
canggih. Hidupnya menjadi lebih mudah. Dan setiap pulang kampung dengan mobil
barunya, maka ia pasti dipuji-puji karena tangan yang ia tempelkan ketika
salaman tidaklah kosong.
Orang-orang menganggap bahwa kebahagiaan adalah kini miliknya. Tapi tunggu dulu!
Justru saat-saat sekarang ia jarang mengembangkan senyuman. Jika dengan seksama
memperhatikannya, kekhawatiran itu dominan terlihat. Bahkan ia berubah menjadi
seorang ibu yang murung dan pemarah. Kesalahan anak-anaknya yang sepele
membuatnya menjadi pemberang.
Rumah 'impiannya' berubah megah. Tapi segalanya juga berubah. Suaminya sedikit
demi sedikit menjelma diktator yang menciutkan keberadaanya. Titah suaminya
sedikitpun tak boleh dicela. Jika suaminya berkata A maka seisi rumah harus utuh
menelannya bulat-bulat. Tak ada lagi suami yang senang bercanda dan meleburkan
kepenatan kesehariannya. Entah ke mana sosok suami sabar, penyayang dan suka
membantu pekerjaan domestiknya. Suaminya berubah menjadi seorang yang asing. Dan
hal ini yang membuatnya dadanya sesak, membuat air matanya luruh diam-diam dan
menguras energinya untuk tersenyum. Iya kalau materi menjadi berlimpah, tapi
ketentraman bathinnya terkikis habis-habisan. Iya jika uang belanja menjadi
berlipat-lipat tapi suaminya menjadi sok kuasa dan sering melecehkannya. Yang
memilukan adalah suaminya marah-marah jika diingatkan untuk mendirikan shalat.
Kemapanan telah tergenggam, tapi apakah berbanding lurus dengan kebahagiaan yang
berkelindan dalam dadanya? Tidak!
***
Saya jadi teringat dengan pesan ayah. Menurutnya harta bukan jaminan
untuk mewujudkan keluarga bahagia. "Harta hanya sementara, sedangkan kebahagiaan
seharusnya tetap hadir meski tanpanya," itu katanya suatu saat. Ia menambahkan,
yang paling penting dan harus selalu ada dalam rumah tangga adalah pilar agama
bukan pilar beton megah. Tanpa agama keluarga seperti minyak wangi dalam botol
yang tidak ada katupnya. Semerbaknya hanya sementara, wanginya perlahan
menghilang terbawa angin. Indahnya hanya di awal-awal saja. Manisnya berada di
permulaan. Seiring waktu berjalan, mereka lupa misi pelayaran keluarga. Dan
ketenangan itu sirna. Padahal tujuan berkeluarga adalah merengkuh ketenangan.
Maka tak heran ada yang tidak betah lagi tinggal di rumah. Rumah megah itu hanya
menjadi tempat singgah. Itu alegori ayah yang saya kenang sampai sekarang.
Siapapun orangnya tentu berkeinginan membangun keluarga penuh kebahagiaan.
Karena apa? Karena keluarga bahagia adalah surga. Surga kecil yang Allah
hadirkan sebelum surga akhirat dengan segala keindahan dan kenikmatan itu kelak.
Keluarga bahagia adalah surga, karena di sana mereka betah bernaung dan menjadi
tempat yang paling ingin disinggahi.
Surga kecil. Yah, surga yang hadir terlalu awal. Keluarga yang sakinah.
Allah, beri kami surga kecil!

Allah Engkaulah sebaik baik tempat aku meminta....

BQ
penghujung April 2010

No comments:

Post a Comment

Rumah Kepompong Daycare

Rumah Kepompong Daycare
Penitipan anak terpercaya di Pemalang